Senin, 11 Mei 2020

BERBURU MALAM SERIBU BULAN


LAILATUL QADR merupakan malam yang digambarkan dalam al-Quran memiliki keistimewaan yang lebih utama dari malam seribu bulan. Lailatul qadr secara bahasa mengandung arti dan maksud sebagai malam yang memiliki kekuatan, daya dan kapasitas. Menjadi pertanyaan bagi setiap umat muslim bagaimana cara mendapatkan malam yang penuh kemuliaan itu? Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qadr [97] : 1-5:

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) pada malam Qadr”(ayat 1). Artinya ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah menurunkan kitab suci Al-Quran pada malam yang penuh berkah. Sebagaimana penjelasanya dalam QS. Ad Dhukhan [44]: 3 “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan”.

Pada ayat berikutnya “Dan taukah kamu apakah malam kemuliaan itu?” (ayat 2). “Malam kemuliaan itu lebih baik dari malam seribu bulan” (ayat 3). Dimana pada malam itu segala bentuk ibadah akan memiliki keistimewaan tersendiri. Sebagaimana dalam hadits Shahih Bukhari yang diriwayatkan oleh Abul Yaman,

مَنْ يَقُمْ لَيْلَةَ القَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.                                                

“Barang siapa melaksanakan shalat pada malam lailatul qadr karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari, I/35). Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Imananan’ (karena iman) adalah memberikan janji Allah yaitu pahala yang diberikan (bagi orang yang menghidupkan malam tersebut) sedangkan ‘Ihtisaaban’ bermakna mengharap pahala (dari sisi Allah), bukan karena mengharap lainnya seperti halnya berbuat riya’. (Lihat Fathul Bari, 4/251)

            Demikian pula dengan dengan dzikir, bersedekah, membaca Al Quran, dan lain sebagainya, maka pahalanya akan berlipat ganda bahkan lebih dari 1000 bulan. Lantas bagaimana dengan perbuatan dosa, apakah juga sama akan dilipat gandakan balasannya sebagaimana ibadah tadi? Dalam hal ini masih perlu berbagai penjelasan dan sumber informasi yang jelas terkait dengan perbuatan yang berdosa.

            Pada ayat selanjutnya dijelaskan tentang turunya para Malaikat “Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan” (ayat 4). Begitu banyaknya jumlah malaikat yang turun ke bumi bahkan menurut Ibnu Katsir, karena banyaknya jumlah malaikat sampai-sampai berdesakan ketika berkumpul di muka bumi. Bahkan angin dan pepohonanpun merubah suasana menjadi tenang dan tentaram seketika itu. Adapun yang dimaksud dengan Ruh dalam ayat ini adalah malaikat Jibril yang ikut turun ke bumi karena begitu pentingnya malam kemuliaan ini.

            Energi yang sedemikian dahsyat jelas tidak bisa dibandingkan dengan energi dan kekuatan apapun yang ada di muka bumi. “Sejahtralah (malam itu) sampai terbit fajar” (ayat 5). Merupakan jaminan bagi setiap orang yang mendapatkan lailatul qadr akan sejahtra hidup di dunia dan di akheratnya. Berdasarkan waktunya Lailatul qadr hanya akan terjadi mulai waktu malam (setelah isya’) sampai dengan waktu fajar. Sebagaimana kebiasaan Rasulullah Saw, selalu menghidupkan 10 malam terakhir pada bulan suci ramadhan. Syarat itulah yang harus dilakukan karena dengan seperti itu akan mendapatkan malam kemuliaan yang dijanjikan langsung oleh Allah SWT.

            Tidak mudah melakukan itikaf pada 10 malam terakhir bulan suci ramadhan, karena untuk bisa mendapatkan Lailatul qard sesungguhnya seseorang itu harus dalam keadaan suci terlebih dahulu. Bersama dengan lamanya puasa tersebut dengan kata lain, 20 hari pertama bulan ramadhan adalah proses untuk pensucian diri untuk menyambut datangnya malam kemuliaan tersebut. Pada hari-hari akhir itulah sesungguhnya Allah mengutus para malaikat untuk membawa hikmah Al-Quran dari Lauhul Mahfuzh kepada jiwa orang yang disucikan.

            Adapun waktu untuk mendapatkan Lailatul qadr yaitu sebagaima hadits, “Dari Aisyah r.a, Rasulullah Saw bersabda, ‘carilah Lailatul Qadr pada malam ganjil diantara sepuluh (malam) terakhir dari (bulan) Ramadhan” (HR. Bukhari, no. 2017). Pada malam ganjil yang dimaksud adalah malam ke dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dan dua puluh sembilan. Ada banyak pendapat yang menyebutkan terkait kapan pastinya malam kemuliaan itu terjadi. Al-Hafizh menyatakan, “Yang paling kuat antara semua pendapat ini adalah pendapat yang menyatakan bahwa Lailatul qadr adanya pada malam ganjil dari sepuluh malam terakhir bulan ramadhan. Malam ini berpindah (dari tahun ke tahun), dan besar kemungkinan malam ini ada pada malam ke dua puluh tujuh. (Lihat Riyadhus Shalihin & Penjelasannya, 721).

            Proses penyempurnaan jiwa merupakan cara yang harus dilakukan dalam setiap diri seorang mukmin. Disadari atau tidak kebiasaan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan mayoritas masyarakat Indonesia khususnya, hanya sekedar melakukan kegiatan spiritualitas yang cenderung sama setiap tahunnya. Tidak berbekas dalam hati dan tidak dipahami maksud dan tujuan adanya bulan ramadhan. Lebih lagi dalam membaca ayat Al-Qur’an hanya cenderung pada berapa kali khatamnya, tidak memahami subtansi printah dan larangan apa yang terkandung di dalamnya. Jiwa ini memang bisa naik dan bisa juga turun, apakah nantinya akan cenderung pada ruhiyah atau hanya badaniyah. Ketika manusia cenderung pada badan saja, maka jelas mereka akan lebih sibuk soal makanan, minuman, dan pakaian, mulai dari pagi hingga petang.

            Jika itu yang menjadi kecenderungan dalam diri kita, maka kualitas jiwa ini akan turun menjadi badaniyah. Padahal jiwa ini memiliki potensi yang lebih berharga dibandingkan urusan-urusan duniawi. Manusia adalah mahluk spiritual yang memang harus lebih mengutamakan perjalanan jiwa menuju tingkat yang ruhiyah tanpa mencederai urusan badaniyah, karena dua hal ini haruslah seimbang guna mendukung satu sama lainnya.

              Kemuliaan Lailatul qadr semata-mata disebabkan karena malam turunnya Al-Quran. Demikian pula turunya malaikat Jibril dan para malaikat lainnya, semua karena membawa petunjuk dari Allah SWT. Seringkali kita salah memahami, banyak anggapan kalau yang mulia itu adalah malamnya. Bukan proses turunnya Al-Qur’an, sehingga banyak di antara kita banyak menanti datangnya malam Al-Qadar tersebut. Padahal yang menjadi berkah dan kemuliaan malam itu hanya turun kepada orang-orang yang membaca dan memahami kandungan ayat Al-Qur’an serta memperoleh petunjuk dari-Nya.

            Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an yaitu, “Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat  pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran” (QS. Shaad [38]: 29. Menjadi kewajiban bagi setiap kita sebagai seorang muslim untuk selalu menyelami makna yang lebih jauh lagi tentang apa dan bagaimana peristiwa turunya Lailatul qadr. Maka, berhasil tidaknya seseorang dalam menjalankan ibadah di bulan ramadhan bukanlah dikarenakan banyaknya ibadah yang dilakukannya. Akan tetapi yang menjadi tolak ukur keberhasilan seseorang dalam bulan ramadhan ini adalah seberapa besar mereka memahami makna yang terkandung di dalamnya. Hanya Allah yang dapat menganugrahkan (pemahaman yang terkandung dalam Al-Qur’an) yaitu kepada setiap mereka yang Dia kehendaki.
             

Rabu, 29 April 2020

Keutamaan Membaca al-Qur’an dan Dampaknya Bagi Kecerdasan


Penting untuk diketahui orang yang senantiasa membaca al-Qur’an, kelak pada hari kiamat akan mendapat pertolongan yaitu, al-Qur’an akan datang memberikan syafaat kepada pemiliknya. Siapakah itu? yaitu orang yang berpegang teguh dengan petunjuknya, melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya serta meninggalkan apa yang dilarangnya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Ummah Radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘Bacalah al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari kiamat sebagai syafaat bagi para pembacanya’.” (H.R Muslim, 804). Sebaik-baik orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya kepada manusia seperti halnya ia digabungkan dengan sebagaian derajat kenabian, dan ia termasuk dalam barisan para shiddiqin yang melaksanakan hak-hak Allah dan hak-hak hamba-Nya.
 Perbedaan yang mendasar antara orang Mukmin dan orang munafik apabila membaca al-Quran yaitu, apabila orang Mukmin membaca al-Quran maka akan diserupakan dengan buah utrujah karena buah tersebut memiliki beberapa karakteristik, antara lain sedap jika dipandang mata, apabila dimakan rasanya enak, dan apabila disentuh terasa lembut. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari, Rasulullah SAW bersabda, ‘perumpamaan orang  Mukmin yang membaca al-Qur’an seperti buah utrujah, baunya harum dan rasanya enak. Perumpamaan orang Mukmin yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah kurma, tidak berbau, tetapi rasanya manis. Adapun perumpamaan orang munafik yang membaca al-Qur’an seperti buah raihanah, baunya harum tapi rasanya pahit dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah hanzalah, tidak berbau dan rasanya pahit’.  (H.R Al-Bukhari [7560], Muslim [797], Abu Dawud [4829], dan At-Tirmidzi [2869] ).
 Penjelasan bagi seorang Mukmin yang yang tidak membaca al-Qur’an dalam hadits di atas akan diserupakan dengan buah kurma karena keimanan yang ada pada dirinya, seperti kandungan rasa manis dalam kurma. Bagaimana dengan orang munafik, adapun orang munafik dalam hadits di atas diserupakan dengan raihanah karena perbuatan membaca al-Qur’an merupakan sebuah kebaikan, sedangkan disisi lain ia jelek dalam beramal. Akan tetapi nasip seorang munafik yang tidak membaca al-Qur’an oleh Allah akan diserupakan dengan hanzhalah, yaitu sejenis pohon yang sangat buruk yang buahnya tidak memiliki bau dan rasanyapun sangat pahit. Adapun dalam penjelasan Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadhus Shalihin dan penjelasannya. Al-Hafizh berkata, “Di dalam hadits ini terdapat keutamaan pembawa al-Qur’an. Dibuatnya permisalan tersebut bertujuan untuk memudahkan pemahaman. Dan yang dimaksud dengan membaca al-Quran adalah mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya”.
Sedangkan pahala bagi orang yang membaca al-Qur’an yaitu, setiap hurufnya akan diberikan sepuluh kebaikan. Sebagaimana yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu’anhu, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda, ‘barang siapa membaca satu huruf dari kitabullah (al-Qur’an), maka baginya satu pahala kebaikan. Dan satu pahala kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan, Alif Lam Mim itu satu huruf. Akan tetapi, Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.” (H.R At-Tirmidzi [2912] dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ [6469]. Adapun yang orang yang menguasai bacaanya dengan sempurna, maka baginya dua puluh kebaikan. Sebagaimana Al Baihaqi meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, “Barang siapa membaca al-Qur’an dengan fasih, maka dari setiap huruf yang dibacanya akan diberikan dua puluh  kebaikan, dan barang siapa membacanya kurang fasih, maka ia akan mendapatkan sepuluh kebaikan dari setiap huruf.”
Bagaimana dengan penelitian ilmiah mengenai pengaruh bacaan al-Qur’an pada syaraf, otak dan organ tubuh lainnya. Tidak ada lagi bacaan yang dapat meningkatkan terhadap daya ingat dan memberikan ketenangan kepada seseorang kecuali membaca al-Quran. Menurut Dr. Al Qadhi, melalui penelitiannya yang panjang dan serius di klinik besar Florida Amerika Serikat, berhasil membuktikan hanya dengan mendengarkan bacaan ayat-ayat al-Qur’an seorang muslim dapat merasakan perubahan fisiologis yang sangat besar. Sealin itu dapat menurunkan depresi, kesedian, memperoleh ketenagan jiwa, dan dapat menangkal berbagai macam penyakit. Selain itu penelitian ini ditunjang dengan bantuan peralatan elektronik terbaru untuk mendeteksi tekanan darah, detak jantung, ketahanan otot, dan ketahanan kulit terhadap aliran listrik. Dari hasil uji cobanya ia berkesimpulan, bacaan al-Qur’an berpengaruh besar hingga 97% dalam melahirkan ketenangan jiwa dan penyembuhan penyakit.
Sedangkan menurut Muhammad Yusuf bin Abdurrahman dalam bukunya Keajaiban Sains, Ada Kemahakuasaan Allah Dalam Segala Hal. Seorang ilmuwan dari Italia, Edward George berkata, “Saya sudah mengkaji dengan sangat teliti agama-agama terdahulu dan agama modern dewasa ini. Kesimpulannya adalah bahwa Islam agama langit yang benar. Kitab suci ini mencakup kebutuhan materi dan immaterial bagi manusia. Agama ini membentuk akhlak yang baik dan menjaga rohani agar tetap sehat.
Dalam penelitian lain yang disampaikan dalam konferensi kedokteran Islam amerika Utara pada tahun 1984, disebutkan al-Qur’an terbukti mampu mendatangkan ketenangan sampai 97% bagi mereka yang mendengarnya. Kesimpulan hasil uji coba tersebut diperkuat lagi oleh penelitian Muhammad Salim yang dipublikasikan di Universitas Bostom. Dimana objek penelitiannya 5 orang sukarelawan yang terdiri dari 3 pria dan 2 wanita. Kelima orang tersebut sama sekali tidak mengerti bahasa Arab dan mereka pun tidak diberi tahu bahwa yang akan diperdengarkan adalah lantunan ayat suci al-Quran. Penelitian ini dilakukan sebanyak 210 kali ini terbagi menjadi 2 sesi, yakni membacakan al-Qur’an dengan tartil dan membacakan bahasa Arab bukan dari al-Qur’an. Kesimpulannya, responden mendapatkan ketenangan sampai 65% ketika mendengarkan bacaan al-Qur’an dan mendapatkan ketenangan hanya 35% ketika mendengarkan bahasa Arab bukan dari al-Qur’an.
Al-Quran memberikan pengaruh besar jika diperdengarkan kepada bayi. Hal ini diungkapkan oleh Dr. Nurhayati dari Malaysia dalam seminar konseling dan psikoterap i Islam di Malaysia pada tahun 1997. Menurut penelitiaanya, bayi yang berusia 48 jam yang kepadanya diperdengarkan ayat-ayat al-Qur’an dari tape recorder menunjukkan respons tersenyum dan menjadi lebih tenang. Sungguh suatu kebahagiaan dan merupakan kenikmatan yang besar, kita miliki al-Quran. Karena selain menjadi ibadah dalam membacanya, bacaanya pun memberikan pengaruh yang positif bagi kebutuhan jasmani dan rohani kita. Jika mendengarkan musik klasik dapat mempengaruhi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) seseorang. Maka bacaan al-Quran lebih dari itu. Selain memengaruhi IQ dan EQ, bacaan al-Quran juga dapat mempengaruhi kecerdasan spiritual (SQ). Sebagimana dalam firmanya “Dan apabila dibacakan al-Qur’an, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-A’raf: 204).
Selain itu untuk mendapatkan derajat yang tinggi di surga nanti maka kita harus menghayati bacaan al-Quran dengan tartil agar dapat mencapai kedudukan sesuai kadar amal yang kita lakukan. Sebagiamana riwayat dari Abdullah bin Amr bin Ash, dari Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda, “Dikatakan kepada pembaca al-Quran, ‘Bacalah dan naiklah, serta bacalah dengan tartil (pelan-pelan dan memperhatikan tajwidnya), sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia, sesungguhnya kedudukanmu sebagaimana akhir ayat yang engkau baca.” (H.R Ahmad [2/192], Abu Dawud [1664], At-Tirmidzi [2915], dan dishahihkan oleh syaikh dalam shahih Al Jami’ [8122].
Dengan memahami tentang keutamaan dan manfaat membaca al-Qur’an di atas, semoga kita dapat terinspirasi dan bersemangat dalam menjaga rutinitas kita dalam membaca al-Qur’an. Semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita semua dengan wasilah al-Qur’an yang kita baca. Karena kita tau bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang Allah turunkan melalui perantara Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wasallam. Sebagai pedoman hidup untuk para hambanya yang bertakwa. Dia adalah cahaya dalam kehidupan dan akan menjadi cahaya pada hari kiamat nanti.


Senin, 27 April 2020

Sudah lama menikah, tapi belum memiliki keturunan? berikut petunjuk dalam Al-Quran dan Sunnah

Setiap orang yang telah berumah tangga, pasti menginginkan si buah hati. Mungkin ada yang telah menanti bertahun-tahun, namun belum juga dikaruniai buah hati. Juga ada yang menginginkan agar anaknya menjadi sholeh. Berikut petunjuk dalam Al Qur’an dan Al Hadits.  

كهيعص 
ذِكْرُ رَحْمَتِ رَبِّكَ عَبْدَهُ زَكَرِيّا

(Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan kamu kepada hamba-Nya, Zakaria,

Ada kisah dalam al-Quran yang mustahil bisa terjadi ketika seorang yang mandul dapat melahirkan seorang anak. yaitu kisah kesungguhan NAbi Zakariya yang terus memohon kepada Allah agar dikaruniai anak. Baca dengan teliti dan amalkan poin-poin yang berwarna Merah berikut:

إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
yaitu tatkala ia berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut (1)

قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
Ia berkata "Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah ditumbuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, ya Tuhanku. (2)

وَإِنِّي خِفْتُ الْمَوَالِيَ مِنْ وَرَائِي وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا فَهَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ وَلِيًّا
Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang 

mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera,

يَرِثُنِي وَيَرِثُ مِنْ آلِ يَعْقُوبَ ۖ وَاجْعَلْهُ رَبِّ رَضِيًّا

yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya'qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, 

seorang yang diridhai".

يَا زَكَرِيَّا إِنَّا نُبَشِّرُكَ بِغُلَامٍ اسْمُهُ يَحْيَىٰ لَمْ نَجْعَلْ لَهُ مِنْ قَبْلُ سَمِيًّا
Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.

قَالَ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي غُلَامٌ وَكَانَتِ امْرَأَتِي عَاقِرًا وَقَدْ بَلَغْتُ مِنَ الْكِبَرِ عِتِيًّا
Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, bagaimana akan ada anak bagiku, padahal isteriku adalah seorang yang mandul dan aku (sendiri) sesungguhnya sudah mencapai umur yang sangat tua".

قَالَ كَذَٰلِكَ قَالَ رَبُّكَ هُوَ عَلَيَّ هَيِّنٌ وَقَدْ خَلَقْتُكَ مِنْ قَبْلُ وَلَمْ تَكُ شَيْئًا
Tuhan berfirman: "Demikianlah". Tuhan berfirman: "Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan sesunguhnya telah Aku ciptakan kamu sebelum itu, padahal kamu (di waktu itu) belum ada sama sekali".

قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِي آيَةً ۚ قَالَ آيَتُكَ أَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلَاثَ لَيَالٍ سَوِيًّا
Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat".

فَخَرَجَ عَلَىٰ قَوْمِهِ مِنَ الْمِحْرَابِ فَأَوْحَىٰ إِلَيْهِمْ أَنْ سَبِّحُوا بُكْرَةً وَعَشِيًّا
Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang (3)
(QS. Maryam [19] : 1-11)

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
38. Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa".

فَنَادَتْهُ الْمَلَائِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَىٰ مُصَدِّقًا بِكَلِمَةٍ مِنَ اللَّهِ وَسَيِّدًا وَحَصُورًا وَنَبِيًّا مِنَ الصَّالِحِينَ

Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri 
melakukan shalat di mihrab (4) (katanya): "Sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang puteramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh".
(QS. Ali-Imran [3] : 38-39)

وَزَكَرِيَّا إِذْ نَادَىٰ رَبَّهُ رَبِّ لَا تَذَرْنِي فَرْدًا وَأَنْتَ خَيْرُ الْوَارِثِينَ
89. Dan (ingatlah kisah) Zakaria, tatkala ia menyeru Tuhannya: "Ya Tuhanku janganlah Engkau membiarkan aku hidup seorang diri dan Engkaulah Waris Yang Paling Baik.
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَوَهَبْنَا لَهُ يَحْيَىٰ وَأَصْلَحْنَا لَهُ زَوْجَهُ ۚ إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا ۖ وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
90. Maka Kami memperkenankan doanya, dan Kami anugerahkan kepada nya Yahya dan Kami jadikan 

isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam 

(mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap 

dan cemas (5) Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami.

(QS. Al-Anbiya : 89-90)

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا
10. maka aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun (6) [ISTIGFAR]
يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا
11. niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat,

وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
12. dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.
(QS. Nuh : 10-11)


Di antaranya ada do’a yang berasal dari para Nabi ‘alaihimush sholaatu was salaam.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam berkata,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
Robbi hablii minash shoolihiin” [Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh]”. (QS. Ash Shaffaat: 100). Ini adalah do’a yang bisa dipanjatkan untuk meminta keturunan, terutama keturunan yang sholeh. Dalam Zaadul Masiir (7/71), dijelaskan maksud ayat tersebut oleh Ibnul Jauzi rahimahullah, “Ya Rabbku, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang nanti termasuk jajaran orang-orang yang sholeh.” Asy Syaukani rahimahullah mengatakan apa yang dikatakan oleh para pakar tafsir, “Ya Rabb, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang termasuk jajaran orang-orang yang sholeh, yang bisa semakin menolongku taat pada-Mu”. Jadi yang namanya keturunan terutama yang sholeh bisa membantu seseorang semakin taat pada Allah.

Nabi Dzakariya ‘alaihis salaam berdo’a,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38). Maksud do’a ini kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Ya Rabb anugerahkanlah padaku dari sisi-Mu keturunan yang thoyyib yaitu anak yang sholeh. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/54)
Seseorang yang telah dewasa dan menginjak usia 40 tahun memohon pada Allah,
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Robbi awzi’nii an asy-kuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya wa an a’mala shoolihan tardhooh, wa ash-lihlii fii dzurriyatii, inni tubtu ilaika wa inni minal muslimiin” [Ya Rabbku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri] (QS. Al Ahqof: 15). Do’a ini juga berisi permintaan kebaikan pada anak dan keturunan.
Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)
Al Qurtubhi rahimahullah berkata,
ليس شيء أقر لعين المؤمن من أن يرى زوجته وأولاده مطيعين لله عز وجل.
Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri dan keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” Perkataan semacam ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/333)
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan anak Ummu Sulaim, yaitu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma dengan do’a,
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 dan Muslim no. 2480). Dari sini seseorang bisa berdo’a untuk meminta banyak keturunan yang sholeh pada Allah,
اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي
Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii“ (Ya Allah perbanyaklah harta dan anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri).”
semoga dengan lima do’a di atas, Allah menganugerahkan pada kita sekalian keturunan bagi yang belum dianugerahi dan dikaruniai anak-anak yang sholeh nan sholehah. Aamiin Yaa Samii’ud Du’aa’.

HATI SEBAGAI PUSAT TERAPI AL-QUR’AN


Berbicara tentang hati Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“...Dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia buruk maka buruklah seluruh tubuh, itulah hati” (HR. Muslim, 2996).
 Hadits ini menjelaskan bahwa bagian yang utama dalam tubuh manusia adalah hati. Ada beberapa penjelasan yang menerangkan tentang apa itu hati? Makna yang pertama adalah daging kecil yang terletak di dalam dada bagian kiri dan di dalamnya ada rongga yang berisi darah hitam. Maka daging inilah yang menjadi sumber dan tempat bersemayamnya roh/nyawa. Selain itu daging seperti ini juga terdapat pada binatang dan orang mati.
Makna yang kedua adalah bisikan halus rabbaniah (ketuhanan) yang berhubungan langsung dengan hati yang berbentuk daging. Bisikan halus rabbaniah inilah yang dapat mengenal Allah SWT dan memahami apa yang tidak dapat dijangkau oleh khayalan dan angan-angan. Inilah hakikat manusia yang dikenai titah hukum, dan penjelasan seperti ini di isyaratkan oleh Allah SWT dalam firmanNya:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya” (QS. Qaf [50] : 37)
Jika yang dimaksud dengan hati (al-qalbu) dalam ayat ini adalah gumpalan daging kecil, maka semua orang memilikinya bahkan binatang sekalipun. Namun apabila yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mempunyai akal, dengan demikian tidak semua orang memilikinya, karena tidak semua orang yang memiliki akal itu berakal. Lebih jauh dari itu banyak orang yang memiliki hati akan tetapi tidak bisa memposisikan hati sesuai dengan ketetapan yang berlaku, maka tidak salah ketika seseorang telah melenceng jauh dari ketentuan Rabbnya, orang tersebut akan dikunci mati hatinya.
Al-Ghazali menjelasakan bahwa, jika engkau telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa hubungan antara bisikan rabbaniah yang sangat halus dengan hati yang berbentuk daging adalah hubungan yang sangat dalam yang tidak dapat diketahui dengan penjelasan-penjelasan, jadi tergantung pada persaksian mata hati setiap orang. Situasi ini dapat diilustrasikan dengan perumpamaan sebagai berikut; bisikan rabbaniah ibarat seorang raja, sedangkan dagingnya laksana istananya. Maka hubungan keduannya seperti halnya hubungan benda-benda, maka tidak benar apabila dikatakan bahwa hubungan rabbaniah dapat berpindah dari satu hati ke hati manusia yang lain.
Hati harus diibaratkan sebagai pemimpin yang harus ditaati, sedangkan tubuh lainnya sebagai tentara yang patuh dari segala perintah dan larangannya. Maka sebaliknya apabila rajanya buruk maka tentarannya juga akan ikut buruk. Jika demikian syahwatnya akan lebih dominan, maka hati yang seharusnya menjadi pemimpin akan berubah menjadi yang dipimpin atau diperintah. Sebagaimana orang yang patuh kepada godaan buruk atau dorongan syahwatnya maka ia akan mendapati dirinya laksana orang sufi yang sujud dihadapan keledai. Jika seseorang patuh pada emosinya, ia akan melihat dirinya sujud di hadapan anjing.
Hati dapat juga diibaratkan sebagai cermin, selagi cermin itu bersih dari karat dan kotoran, maka dari cermin tersebut dapat dilihat dengan baik. Jika karat telah menutupinya, sedang ia tidak memiliki alat untuk membersihkan maka cermin itu akan terpenuhi oleh kotoran yang dapat menyebabkan karat pada cermin itu. Inilah yang dimaksud dengan ath-thaba’ (titik noda) dan disyaratkan Nabi SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana berkaratnya besi”. Sahabat bertanya, ‘Bagaimana cara menghilangkannya ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, “menginggat mati dan membaca Al-Qur’an”. Maka jika hati gagal menjalankan fungsinya sebagai pemberi perintah, maka ia pun akan dikuasai setan hingga sifat-sifatnya yang baik berubah menjadi buruk[1].
Rasulullah SAW bersabda sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-musnat (3/17); dan ath-Thabrani, ash-Shagir (2/110) ada empat jenis hati: Pertama, hati bersih yang memancarkan sinar terang-benderang seperti lampu, itulah hati orang Mukmin. Kedua, hati yang hitam dan terbalik, itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang tertutupi dan terikat pada tutupnya, itulah hati orang munafik. Keempat, hati yang berlapis karena di dalamnya terdapat iman dan sifat munafik. Perumpamaan rasa iman dalam hati itu laksana sayuran yang disiram dengan air bersih. Sedangkan perumpamaan sifat munafik dalam hati itu laksana luka bernanah yang dipenuhi ulat. Maka, mana di antara dua sifat itu yang menutupi hati, dialah yang menguasai segala gerak-geriknya.
Hati yang baik akan menumbuhkan akhlak yang baik, segala bentuk karakter yang kuat dalam jiwa manusia akan muncul sesuai dengan apa yang dilakukannya. Perbuatan baik yang keluar dari kekuatan jiwa akan memunculkan sikap yang mulia, serta memiliki kemurahan hati inilah yang akan menghantarkan diri kita menuju kesempurnaan jiwa. Al-Hasan berkata, ‘akhlak yang baik akan bermuka manis, bersungguh-sungguh dalam berderma dan menahan diri sehingga enggan menggangu.
Keindahan akhlak seorang muslim adalah sabar dan tegar dalam menghadapai cobaan dari Allah SWT. Kesabaran merupakan cara yang dilakukan untuk menahan dari hal-hal yang tidak disukai, atau tegar menghadapi hal-hal yang tidak disukai dengan rela dan pasrah. Seorang muslim menahan dirinya dari hal yang tidak ia sukai seperti besusah payah melaksanakan ibadah dan taat kepada Allah, kosekuen dalam menjalankannya, menahan diri agar tidak sampai bermaksiat kepada Allah SWT yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur.
Pada dasarnya dalam diri manusia terkumpul empat macam sifat: Pertama, as-sifat as-sab’iyyah (sifat binatang buas), kedua, as-sifat al-bahimiyyah (sifat binatang ternak), ketiga, as-sifat as-syaithaniyyah (sifat setan), dan keempat, as-sifat ar-rabbaniyyah (sifat ketuhanan). Ketika manusia dikuasai rasa amarah, maka ia ibarat melakukan perbuatan binatang buas. Ketika ia dikuasai oleh syahwat, maka ia ibarat melakukan perbuatan seperti binatang ternak. Gabungan dari kedua sifat ini melahirkan sifat senang terhadap keburukan, ketika manusia kecenderungannya seperti ini maka ia sedang dikuasai sifat setan.
 Berkenaan dengan sifat ketuhanan terjadi manakala manusia lebih condong pada urusan-urusan Tuhan. Sebagaimana Allah berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلً
 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah [wahai Muhammad] bahwa masalah roh adalah urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS. Al-Isra’[17]: 85).
Allah memposisikan diri-Nya sebagai Tuhan yang mengatur segala sesuatu dan Maha Aggung. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui bahwasannya ilmu yang ada dalam hati manusia terkadang diperoleh melalui metode belajar dan pengajuan berbagai argumentasi, metode ini sering ditempuh oleh kalangan ilmuwan. Sedangkan metode penyikapan dan kesaksiaan lebih cenderung digunakakn oleh kalangan sufi.
Ketahuilah bahwa dalam hati manusia ada sebuah pintu yang menjadi keluar masuknya setan menuju alam gaib. Maka sebagai seorang mukmin yang beriman kita harus bisa membentengi diri dengan selalu  menjalankan printahnya dan menjahui larangannya. Dengan demikian semua umat muslim di dunia ini akan terjaga dari kikirnya hati, sombong, dan selalu mencari keberkahan dalam hidup di dunia maupun kelak di akhirat nanti.

Berkenaan dengan hati sebagai pusat terapi al-Quran [2]Ingat ketika Muadz bin Jabal ra membacakan QS. Al-Mukminun: 114

قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا ۖ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui"
kepada seorang yang dikuasai syaitan, lalu serta merta syaitan itu lari dan seorang sahabat yang mengetahui hal ini mengadukan kepada Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya. Bahkan Rasulullah Saw berkata, “Seandainya ayat itu dibacakan pada sebuah gunung, maka ia akan musnah!!!” Pantaslah Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Tidak ada satupun penyakit yang akan bertahan ketika dihadapkan pada Al Qur’an”. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda, Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
 "Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan bagi setiap penyakit terdapat obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!" (HR. Abu Daud: 3376).
Pertanyaannya adalah sebesar apakah syaitan ini sehingga tidak bisa hancur saat dibacakan al Qur’an? Seberapa kuatkan penyakit-penyakit jaman sekarang hingga tidak lebur dengan ayat-ayat yang dahsyat ini? Apakah nilai al Qur’an sudah berkurang? Alam semesta ini tercipta dengan suara [Allah berfirman kepadanya, ‘Kun Faya Kun”. Kemudian terjadilah] dan nanti akan dihancurkan pula dengan suara [tiupan malaikat Israfil]. Tidak berhenti disini, jika kita analisa al Qur’an pun betuknya suara. Ia difirmankan Allah kepada malaikat Jibril [dalam bentuk suara/kalamullah], lalu jibril membacakan kepada Rasulullah Saw dalam bentuk suara, lalu Rasulullah Saw membacakan kepada sahabat sahabiahnya dalam bentuk suara juga, dan hingga saat ini al-Qur’an masih dalam bentuk suara yang terjaga yang dijaga oleh Al Hafidz [Allah yang maha menjaga]. Jadi Al-Qur’an ini kalamullah [voice of God] yang agung.
Sebagaimana firmannya,
لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah, Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
(QS. Al-Hasyr: 21). Lalu kenapa al Qur’an yang dahsyat ini tidak mampu menghancurkan seekor bakteri, penyakit, virus, jin, dll.. yang padahal mereka adalah mahluk juga? Jawabannya ada pada Al Qur’an juga, mari kita lihat surah Al Isra ayat 45
وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا

 “Dan apabila kamu [Muhammad] membaca Al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tidak terlihat”. Hijaban mastura, ketika Al-Qur’an dibacakan kepada orang-orang yang tidak beriman atau belum beriman kepada kehidupan akhirat secara kaffah, kepada mereka yang belum merasa butuh akhirat, kepada mereka yang belum paham akan kemenangan yang besar, kepada jasad yang ingkar kepada kehidupan akhirat maka Allah akan buatkan dinding yang tidak terlihat.



[1] HR. Al Hindi, Kanz al-Ummal (3924); Ibnu Adiy, al-Kamil (1/2558) dalam ringkasan Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali, Tahqiq dan Tahkrij: Ahmad Abdurraziq al-Bakri (278-279)
[2] Buku Rehab Hati, 2016


BERBURU MALAM SERIBU BULAN

LAILATUL QADR merupakan malam yang digambarkan dalam al-Quran memiliki keistimewaan yang lebih utama dari malam seribu bulan. Lailatul qad...

Daftar Populer