Senin, 27 April 2020

HATI SEBAGAI PUSAT TERAPI AL-QUR’AN


Berbicara tentang hati Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“...Dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh, dan jika ia buruk maka buruklah seluruh tubuh, itulah hati” (HR. Muslim, 2996).
 Hadits ini menjelaskan bahwa bagian yang utama dalam tubuh manusia adalah hati. Ada beberapa penjelasan yang menerangkan tentang apa itu hati? Makna yang pertama adalah daging kecil yang terletak di dalam dada bagian kiri dan di dalamnya ada rongga yang berisi darah hitam. Maka daging inilah yang menjadi sumber dan tempat bersemayamnya roh/nyawa. Selain itu daging seperti ini juga terdapat pada binatang dan orang mati.
Makna yang kedua adalah bisikan halus rabbaniah (ketuhanan) yang berhubungan langsung dengan hati yang berbentuk daging. Bisikan halus rabbaniah inilah yang dapat mengenal Allah SWT dan memahami apa yang tidak dapat dijangkau oleh khayalan dan angan-angan. Inilah hakikat manusia yang dikenai titah hukum, dan penjelasan seperti ini di isyaratkan oleh Allah SWT dalam firmanNya:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya” (QS. Qaf [50] : 37)
Jika yang dimaksud dengan hati (al-qalbu) dalam ayat ini adalah gumpalan daging kecil, maka semua orang memilikinya bahkan binatang sekalipun. Namun apabila yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang mempunyai akal, dengan demikian tidak semua orang memilikinya, karena tidak semua orang yang memiliki akal itu berakal. Lebih jauh dari itu banyak orang yang memiliki hati akan tetapi tidak bisa memposisikan hati sesuai dengan ketetapan yang berlaku, maka tidak salah ketika seseorang telah melenceng jauh dari ketentuan Rabbnya, orang tersebut akan dikunci mati hatinya.
Al-Ghazali menjelasakan bahwa, jika engkau telah memahami hal ini, maka ketahuilah bahwa hubungan antara bisikan rabbaniah yang sangat halus dengan hati yang berbentuk daging adalah hubungan yang sangat dalam yang tidak dapat diketahui dengan penjelasan-penjelasan, jadi tergantung pada persaksian mata hati setiap orang. Situasi ini dapat diilustrasikan dengan perumpamaan sebagai berikut; bisikan rabbaniah ibarat seorang raja, sedangkan dagingnya laksana istananya. Maka hubungan keduannya seperti halnya hubungan benda-benda, maka tidak benar apabila dikatakan bahwa hubungan rabbaniah dapat berpindah dari satu hati ke hati manusia yang lain.
Hati harus diibaratkan sebagai pemimpin yang harus ditaati, sedangkan tubuh lainnya sebagai tentara yang patuh dari segala perintah dan larangannya. Maka sebaliknya apabila rajanya buruk maka tentarannya juga akan ikut buruk. Jika demikian syahwatnya akan lebih dominan, maka hati yang seharusnya menjadi pemimpin akan berubah menjadi yang dipimpin atau diperintah. Sebagaimana orang yang patuh kepada godaan buruk atau dorongan syahwatnya maka ia akan mendapati dirinya laksana orang sufi yang sujud dihadapan keledai. Jika seseorang patuh pada emosinya, ia akan melihat dirinya sujud di hadapan anjing.
Hati dapat juga diibaratkan sebagai cermin, selagi cermin itu bersih dari karat dan kotoran, maka dari cermin tersebut dapat dilihat dengan baik. Jika karat telah menutupinya, sedang ia tidak memiliki alat untuk membersihkan maka cermin itu akan terpenuhi oleh kotoran yang dapat menyebabkan karat pada cermin itu. Inilah yang dimaksud dengan ath-thaba’ (titik noda) dan disyaratkan Nabi SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya hati itu berkarat sebagaimana berkaratnya besi”. Sahabat bertanya, ‘Bagaimana cara menghilangkannya ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, “menginggat mati dan membaca Al-Qur’an”. Maka jika hati gagal menjalankan fungsinya sebagai pemberi perintah, maka ia pun akan dikuasai setan hingga sifat-sifatnya yang baik berubah menjadi buruk[1].
Rasulullah SAW bersabda sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-musnat (3/17); dan ath-Thabrani, ash-Shagir (2/110) ada empat jenis hati: Pertama, hati bersih yang memancarkan sinar terang-benderang seperti lampu, itulah hati orang Mukmin. Kedua, hati yang hitam dan terbalik, itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang tertutupi dan terikat pada tutupnya, itulah hati orang munafik. Keempat, hati yang berlapis karena di dalamnya terdapat iman dan sifat munafik. Perumpamaan rasa iman dalam hati itu laksana sayuran yang disiram dengan air bersih. Sedangkan perumpamaan sifat munafik dalam hati itu laksana luka bernanah yang dipenuhi ulat. Maka, mana di antara dua sifat itu yang menutupi hati, dialah yang menguasai segala gerak-geriknya.
Hati yang baik akan menumbuhkan akhlak yang baik, segala bentuk karakter yang kuat dalam jiwa manusia akan muncul sesuai dengan apa yang dilakukannya. Perbuatan baik yang keluar dari kekuatan jiwa akan memunculkan sikap yang mulia, serta memiliki kemurahan hati inilah yang akan menghantarkan diri kita menuju kesempurnaan jiwa. Al-Hasan berkata, ‘akhlak yang baik akan bermuka manis, bersungguh-sungguh dalam berderma dan menahan diri sehingga enggan menggangu.
Keindahan akhlak seorang muslim adalah sabar dan tegar dalam menghadapai cobaan dari Allah SWT. Kesabaran merupakan cara yang dilakukan untuk menahan dari hal-hal yang tidak disukai, atau tegar menghadapi hal-hal yang tidak disukai dengan rela dan pasrah. Seorang muslim menahan dirinya dari hal yang tidak ia sukai seperti besusah payah melaksanakan ibadah dan taat kepada Allah, kosekuen dalam menjalankannya, menahan diri agar tidak sampai bermaksiat kepada Allah SWT yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur.
Pada dasarnya dalam diri manusia terkumpul empat macam sifat: Pertama, as-sifat as-sab’iyyah (sifat binatang buas), kedua, as-sifat al-bahimiyyah (sifat binatang ternak), ketiga, as-sifat as-syaithaniyyah (sifat setan), dan keempat, as-sifat ar-rabbaniyyah (sifat ketuhanan). Ketika manusia dikuasai rasa amarah, maka ia ibarat melakukan perbuatan binatang buas. Ketika ia dikuasai oleh syahwat, maka ia ibarat melakukan perbuatan seperti binatang ternak. Gabungan dari kedua sifat ini melahirkan sifat senang terhadap keburukan, ketika manusia kecenderungannya seperti ini maka ia sedang dikuasai sifat setan.
 Berkenaan dengan sifat ketuhanan terjadi manakala manusia lebih condong pada urusan-urusan Tuhan. Sebagaimana Allah berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلً
 “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah [wahai Muhammad] bahwa masalah roh adalah urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit (QS. Al-Isra’[17]: 85).
Allah memposisikan diri-Nya sebagai Tuhan yang mengatur segala sesuatu dan Maha Aggung. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui bahwasannya ilmu yang ada dalam hati manusia terkadang diperoleh melalui metode belajar dan pengajuan berbagai argumentasi, metode ini sering ditempuh oleh kalangan ilmuwan. Sedangkan metode penyikapan dan kesaksiaan lebih cenderung digunakakn oleh kalangan sufi.
Ketahuilah bahwa dalam hati manusia ada sebuah pintu yang menjadi keluar masuknya setan menuju alam gaib. Maka sebagai seorang mukmin yang beriman kita harus bisa membentengi diri dengan selalu  menjalankan printahnya dan menjahui larangannya. Dengan demikian semua umat muslim di dunia ini akan terjaga dari kikirnya hati, sombong, dan selalu mencari keberkahan dalam hidup di dunia maupun kelak di akhirat nanti.

Berkenaan dengan hati sebagai pusat terapi al-Quran [2]Ingat ketika Muadz bin Jabal ra membacakan QS. Al-Mukminun: 114

قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا ۖ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
"Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui"
kepada seorang yang dikuasai syaitan, lalu serta merta syaitan itu lari dan seorang sahabat yang mengetahui hal ini mengadukan kepada Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya. Bahkan Rasulullah Saw berkata, “Seandainya ayat itu dibacakan pada sebuah gunung, maka ia akan musnah!!!” Pantaslah Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Tidak ada satupun penyakit yang akan bertahan ketika dihadapkan pada Al Qur’an”. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Darda, Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
 "Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obat, dan menjadikan bagi setiap penyakit terdapat obatnya, maka berobatlah dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram!" (HR. Abu Daud: 3376).
Pertanyaannya adalah sebesar apakah syaitan ini sehingga tidak bisa hancur saat dibacakan al Qur’an? Seberapa kuatkan penyakit-penyakit jaman sekarang hingga tidak lebur dengan ayat-ayat yang dahsyat ini? Apakah nilai al Qur’an sudah berkurang? Alam semesta ini tercipta dengan suara [Allah berfirman kepadanya, ‘Kun Faya Kun”. Kemudian terjadilah] dan nanti akan dihancurkan pula dengan suara [tiupan malaikat Israfil]. Tidak berhenti disini, jika kita analisa al Qur’an pun betuknya suara. Ia difirmankan Allah kepada malaikat Jibril [dalam bentuk suara/kalamullah], lalu jibril membacakan kepada Rasulullah Saw dalam bentuk suara, lalu Rasulullah Saw membacakan kepada sahabat sahabiahnya dalam bentuk suara juga, dan hingga saat ini al-Qur’an masih dalam bentuk suara yang terjaga yang dijaga oleh Al Hafidz [Allah yang maha menjaga]. Jadi Al-Qur’an ini kalamullah [voice of God] yang agung.
Sebagaimana firmannya,
لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah, Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
(QS. Al-Hasyr: 21). Lalu kenapa al Qur’an yang dahsyat ini tidak mampu menghancurkan seekor bakteri, penyakit, virus, jin, dll.. yang padahal mereka adalah mahluk juga? Jawabannya ada pada Al Qur’an juga, mari kita lihat surah Al Isra ayat 45
وَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِالْآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا

 “Dan apabila kamu [Muhammad] membaca Al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tidak terlihat”. Hijaban mastura, ketika Al-Qur’an dibacakan kepada orang-orang yang tidak beriman atau belum beriman kepada kehidupan akhirat secara kaffah, kepada mereka yang belum merasa butuh akhirat, kepada mereka yang belum paham akan kemenangan yang besar, kepada jasad yang ingkar kepada kehidupan akhirat maka Allah akan buatkan dinding yang tidak terlihat.



[1] HR. Al Hindi, Kanz al-Ummal (3924); Ibnu Adiy, al-Kamil (1/2558) dalam ringkasan Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali, Tahqiq dan Tahkrij: Ahmad Abdurraziq al-Bakri (278-279)
[2] Buku Rehab Hati, 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

BERBURU MALAM SERIBU BULAN

LAILATUL QADR merupakan malam yang digambarkan dalam al-Quran memiliki keistimewaan yang lebih utama dari malam seribu bulan. Lailatul qad...

Daftar Populer