Berbicara tentang hati Rasulullah SAW bersabda,
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً
إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ
كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
“...Dalam tubuh manusia ada segumpal daging yang jika ia baik, maka
baiklah seluruh tubuh, dan jika ia buruk maka buruklah seluruh tubuh, itulah
hati” (HR. Muslim,
2996).
Hadits ini menjelaskan bahwa
bagian yang utama dalam tubuh manusia adalah hati. Ada beberapa penjelasan yang
menerangkan tentang apa itu hati? Makna yang pertama adalah daging kecil
yang terletak di dalam dada bagian kiri dan di dalamnya ada rongga yang berisi
darah hitam. Maka daging inilah yang menjadi sumber dan tempat bersemayamnya
roh/nyawa. Selain itu daging seperti ini juga terdapat pada binatang dan orang
mati.
Makna yang kedua
adalah bisikan halus rabbaniah (ketuhanan) yang berhubungan langsung
dengan hati yang berbentuk daging. Bisikan halus rabbaniah inilah yang
dapat mengenal Allah SWT dan memahami apa yang tidak dapat dijangkau oleh
khayalan dan angan-angan. Inilah hakikat manusia yang dikenai titah hukum, dan
penjelasan seperti ini di isyaratkan oleh Allah SWT dalam firmanNya:
إِنَّ فِي
ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ
شَهِيدٌ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan
pendengarannya, sedang dia menyaksikannya” (QS. Qaf [50] : 37)
Jika yang dimaksud dengan hati (al-qalbu) dalam ayat ini
adalah gumpalan daging kecil, maka semua orang memilikinya bahkan binatang
sekalipun. Namun apabila yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang
mempunyai akal, dengan demikian tidak semua orang memilikinya, karena tidak
semua orang yang memiliki akal itu berakal. Lebih jauh dari itu banyak orang
yang memiliki hati akan tetapi tidak bisa memposisikan hati sesuai dengan
ketetapan yang berlaku, maka tidak salah ketika seseorang telah melenceng jauh
dari ketentuan Rabbnya, orang tersebut akan dikunci mati hatinya.
Al-Ghazali menjelasakan bahwa, jika engkau telah memahami hal ini,
maka ketahuilah bahwa hubungan antara bisikan rabbaniah yang sangat
halus dengan hati yang berbentuk daging adalah hubungan yang sangat dalam yang
tidak dapat diketahui dengan penjelasan-penjelasan, jadi tergantung pada
persaksian mata hati setiap orang. Situasi ini dapat diilustrasikan dengan
perumpamaan sebagai berikut; bisikan rabbaniah ibarat seorang raja,
sedangkan dagingnya laksana istananya. Maka hubungan keduannya seperti halnya
hubungan benda-benda, maka tidak benar apabila dikatakan bahwa hubungan rabbaniah
dapat berpindah dari satu hati ke hati manusia yang lain.
Hati harus diibaratkan sebagai pemimpin yang harus ditaati,
sedangkan tubuh lainnya sebagai tentara yang patuh dari segala perintah dan
larangannya. Maka sebaliknya apabila rajanya buruk maka tentarannya juga akan
ikut buruk. Jika demikian syahwatnya akan lebih dominan, maka hati yang
seharusnya menjadi pemimpin akan berubah menjadi yang dipimpin atau diperintah.
Sebagaimana orang yang patuh kepada godaan buruk atau dorongan syahwatnya maka
ia akan mendapati dirinya laksana orang sufi yang sujud dihadapan keledai. Jika
seseorang patuh pada emosinya, ia akan melihat dirinya sujud di hadapan anjing.
Hati dapat juga diibaratkan sebagai cermin, selagi cermin itu
bersih dari karat dan kotoran, maka dari cermin tersebut dapat dilihat dengan
baik. Jika karat telah menutupinya, sedang ia tidak memiliki alat untuk membersihkan
maka cermin itu akan terpenuhi oleh kotoran yang dapat menyebabkan karat pada
cermin itu. Inilah yang dimaksud dengan ath-thaba’ (titik noda) dan
disyaratkan Nabi SAW dalam sabdanya, “Sesungguhnya hati itu berkarat
sebagaimana berkaratnya besi”. Sahabat bertanya, ‘Bagaimana cara
menghilangkannya ya Rasulullah?’ Beliau menjawab, “menginggat mati dan
membaca Al-Qur’an”. Maka jika hati gagal menjalankan fungsinya sebagai
pemberi perintah, maka ia pun akan dikuasai setan hingga sifat-sifatnya yang baik
berubah menjadi buruk[1].
Rasulullah SAW bersabda sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, al-musnat (3/17); dan ath-Thabrani, ash-Shagir
(2/110) ada empat jenis hati: Pertama, hati bersih yang memancarkan
sinar terang-benderang seperti lampu, itulah hati orang Mukmin. Kedua,
hati yang hitam dan terbalik, itulah hati orang kafir. Ketiga, hati yang
tertutupi dan terikat pada tutupnya, itulah hati orang munafik. Keempat,
hati yang berlapis karena di dalamnya terdapat iman dan sifat munafik. Perumpamaan
rasa iman dalam hati itu laksana sayuran yang disiram dengan air bersih.
Sedangkan perumpamaan sifat munafik dalam hati itu laksana luka bernanah yang
dipenuhi ulat. Maka, mana di antara dua sifat itu yang menutupi hati, dialah
yang menguasai segala gerak-geriknya.
Hati yang baik akan menumbuhkan akhlak yang baik, segala bentuk
karakter yang kuat dalam jiwa manusia akan muncul sesuai dengan apa yang
dilakukannya. Perbuatan baik yang keluar dari kekuatan jiwa akan memunculkan
sikap yang mulia, serta memiliki kemurahan hati inilah yang akan menghantarkan
diri kita menuju kesempurnaan jiwa. Al-Hasan berkata, ‘akhlak yang baik akan
bermuka manis, bersungguh-sungguh dalam berderma dan menahan diri sehingga
enggan menggangu.
Keindahan akhlak seorang muslim adalah sabar dan tegar dalam
menghadapai cobaan dari Allah SWT. Kesabaran merupakan cara yang dilakukan
untuk menahan dari hal-hal yang tidak disukai, atau tegar menghadapi hal-hal
yang tidak disukai dengan rela dan pasrah. Seorang muslim menahan dirinya dari
hal yang tidak ia sukai seperti besusah payah melaksanakan ibadah dan taat
kepada Allah, kosekuen dalam menjalankannya, menahan diri agar tidak sampai
bermaksiat kepada Allah SWT yang Maha Tinggi lagi Maha Luhur.
Pada dasarnya dalam diri manusia terkumpul empat macam sifat: Pertama,
as-sifat as-sab’iyyah (sifat binatang buas), kedua, as-sifat
al-bahimiyyah (sifat binatang ternak), ketiga, as-sifat as-syaithaniyyah
(sifat setan), dan keempat, as-sifat ar-rabbaniyyah (sifat ketuhanan).
Ketika manusia dikuasai rasa amarah, maka ia ibarat melakukan perbuatan
binatang buas. Ketika ia dikuasai oleh syahwat, maka ia ibarat melakukan
perbuatan seperti binatang ternak. Gabungan dari kedua sifat ini melahirkan
sifat senang terhadap keburukan, ketika manusia kecenderungannya seperti ini
maka ia sedang dikuasai sifat setan.
Berkenaan dengan sifat
ketuhanan terjadi manakala manusia lebih condong pada urusan-urusan Tuhan.
Sebagaimana Allah berfirman,
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ
الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلً
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah [wahai Muhammad] bahwa masalah roh
adalah urusan Tuhanku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit” (QS.
Al-Isra’[17]: 85).
Allah memposisikan diri-Nya sebagai Tuhan yang mengatur segala
sesuatu dan Maha Aggung. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui bahwasannya
ilmu yang ada dalam hati manusia terkadang diperoleh melalui metode belajar dan
pengajuan berbagai argumentasi, metode ini sering ditempuh oleh kalangan
ilmuwan. Sedangkan metode penyikapan dan kesaksiaan lebih cenderung digunakakn
oleh kalangan sufi.
Ketahuilah bahwa dalam hati manusia ada sebuah pintu yang menjadi
keluar masuknya setan menuju alam gaib. Maka sebagai seorang mukmin yang
beriman kita harus bisa membentengi diri dengan selalu menjalankan printahnya dan menjahui
larangannya. Dengan demikian semua umat muslim di dunia ini akan terjaga dari
kikirnya hati, sombong, dan selalu mencari keberkahan dalam hidup di dunia
maupun kelak di akhirat nanti.
Berkenaan dengan hati sebagai pusat terapi al-Quran [2]. Ingat
ketika Muadz bin Jabal ra membacakan QS. Al-Mukminun: 114
قَالَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا ۖ لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
"Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui"
"Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui"
kepada seorang yang dikuasai syaitan, lalu serta
merta syaitan itu lari dan seorang sahabat yang mengetahui hal ini mengadukan
kepada Rasulullah Saw dan beliau membenarkannya. Bahkan Rasulullah Saw berkata,
“Seandainya ayat itu dibacakan pada sebuah gunung, maka ia akan musnah!!!”
Pantaslah Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata, “Tidak ada satupun penyakit yang
akan bertahan ketika dihadapkan pada Al Qur’an”. Dalam hadits yang diriwayatkan
dari Abu Darda, Rasulullah Saw bersabda:
إِنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ الدَّاءَ
وَالدَّوَاءَ وَجَعَلَ لِكُلِّ دَاءٍ دَوَاءً فَتَدَاوَوْا وَلَا تَدَاوَوْا
بِحَرَامٍ
"Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan
obat, dan menjadikan bagi setiap penyakit terdapat obatnya, maka berobatlah dan
jangan berobat dengan sesuatu yang haram!" (HR. Abu Daud: 3376).
Pertanyaannya
adalah sebesar apakah syaitan ini sehingga tidak bisa hancur saat dibacakan al
Qur’an? Seberapa kuatkan penyakit-penyakit jaman sekarang hingga tidak lebur
dengan ayat-ayat yang dahsyat ini? Apakah nilai al Qur’an sudah berkurang? Alam
semesta ini tercipta dengan suara [Allah berfirman kepadanya, ‘Kun Faya
Kun”. Kemudian terjadilah] dan nanti akan dihancurkan pula dengan suara
[tiupan malaikat Israfil]. Tidak berhenti disini, jika kita analisa al Qur’an
pun betuknya suara. Ia difirmankan Allah kepada malaikat Jibril [dalam bentuk suara/kalamullah],
lalu jibril membacakan kepada Rasulullah Saw dalam bentuk suara, lalu
Rasulullah Saw membacakan kepada sahabat sahabiahnya dalam bentuk suara juga,
dan hingga saat ini al-Qur’an masih dalam bentuk suara yang terjaga yang dijaga
oleh Al Hafidz [Allah yang maha menjaga]. Jadi Al-Qur’an ini kalamullah [voice
of God] yang agung.
Sebagaimana
firmannya,
لَوْ
أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا
مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُونَ
“Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada
sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
takut kepada Allah, Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk
manusia supaya mereka berfikir.
(QS. Al-Hasyr: 21). Lalu kenapa al Qur’an yang dahsyat ini tidak mampu menghancurkan seekor bakteri, penyakit, virus, jin, dll.. yang padahal mereka adalah mahluk juga? Jawabannya ada pada Al Qur’an juga, mari kita lihat surah Al Isra ayat 45
(QS. Al-Hasyr: 21). Lalu kenapa al Qur’an yang dahsyat ini tidak mampu menghancurkan seekor bakteri, penyakit, virus, jin, dll.. yang padahal mereka adalah mahluk juga? Jawabannya ada pada Al Qur’an juga, mari kita lihat surah Al Isra ayat 45
وَإِذَا
قَرَأْتَ الْقُرْآنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
بِالْآخِرَةِ حِجَابًا مَسْتُورًا
“Dan apabila
kamu [Muhammad] membaca Al-Qur'an niscaya Kami adakan antara kamu dan
orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang
tidak terlihat”. Hijaban mastura, ketika Al-Qur’an dibacakan kepada orang-orang yang tidak
beriman atau belum beriman kepada kehidupan akhirat secara kaffah, kepada
mereka yang belum merasa butuh akhirat, kepada mereka yang belum paham
akan kemenangan yang besar, kepada jasad yang ingkar kepada kehidupan akhirat
maka Allah akan buatkan dinding yang tidak terlihat.
[1] HR. Al Hindi, Kanz al-Ummal (3924); Ibnu Adiy, al-Kamil (1/2558) dalam
ringkasan Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali, Tahqiq dan Tahkrij: Ahmad Abdurraziq
al-Bakri (278-279)
[2] Buku Rehab Hati, 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar